SERANG – Usia ke-59 Korps HMI-Wati (Kohati) bukan lagi usia muda. Hampir enam dekade perjalanan organisasi ini menjadi bukti panjang perjuangan kader perempuan HMI dalam membina, mendidik, dan memberdayakan muslimah. Milad ini seharusnya tidak hanya diperingati sebagai seremoni tahunan, tetapi juga menjadi momentum refleksi sejauh mana cita-cita terbentuknya muslimah berkualitas insan cita benar-benar diwujudkan dalam realitas kaderisasi dan pengabdian Kohati hari ini.
Sejak kelahirannya, Kohati hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan wadah pembinaan muslimah dalam tubuh HMI. Identitas muslimah insan cita beriman, berilmu, berdaya, dan berakhlak mulia dijadikan landasan. Kader Kohati diproyeksikan bukan hanya sebagai bagian dari gerakan intelektual, tetapi juga sebagai teladan dalam kehidupan sosial, keluarga, dan masyarakat. Namun, dalam praktik hari ini, tantangan yang dihadapi Kohati semakin kompleks. Sebagian kader kerap terjebak pada gerakan simbolik atau seremonial, bahkan orientasi perlawanan yang kurang terarah, hingga melupakan esensi pembinaan muslimah yang menjadi ruh Kohati.
Kaderisasi adalah jantung dari organisasi. Kohati semestinya menjaga konsistensi pendidikan dan pembinaan melalui forum-forum intelektual, diskusi keislaman, dan pelatihan kepemimpinan yang menanamkan nilai insan cita secara nyata. Tanpa kaderisasi yang terarah, sulit bagi Kohati untuk melahirkan muslimah yang kokoh secara intelektual maupun spiritual. Peneguhan kembali tradisi kaderisasi inilah yang harus menjadi agenda penting di usia hampir enam dekade ini.
Selain pembinaan, pemberdayaan muslimah merupakan tantangan lain yang harus dijawab Kohati. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia baru mencapai 54,42%, masih tertinggal jauh dibanding laki-laki yang mencapai 82,41%. Angka ini menegaskan bahwa perempuan masih menghadapi kesenjangan dalam ruang publik, termasuk dalam bidang ekonomi dan kepemimpinan. Kohati harus mengambil peran strategis di ruang ini untuk menghadirkan program pemberdayaan yang solutif, konkret, dan sesuai kebutuhan zaman.
Milad ke-59 ini juga harus menjadi ajakan muhasabah. Pertanyaan yang perlu dijawab bersama _apakah Kohati hari ini sudah sejalan dengan cita-cita awalnya, atau justru mulai kehilangan orientasi?_ Kritik yang diajukan bukan untuk melemahkan, tetapi sebagai panggilan perbaikan. Kohati harus kembali meneguhkan jati dirinya sebagai pembina dan pendidik muslimah, sekaligus penggerak pemberdayaan yang mampu menjawab kebutuhan bangsa.
Refleksi ini lahir bukan dari pesimisme, melainkan optimisme. Dengan menjaga ruh kaderisasi, memperkuat pendidikan dan pembinaan, serta menghadirkan pemberdayaan yang nyata, Kohati dapat memastikan dirinya tetap relevan dan berdaya di tengah dinamika zaman. Pada usia ke-59 ini, Kohati tidak boleh sekadar berbangga pada sejarahnya, tetapi harus berani memastikan masa depannya menjadi korps yang benar-benar melahirkan muslimah berkualitas insan cita, serta memberi kontribusi nyata bagi terwujudnya Indonesia yang maju dan bermartabat.
Redaksi:Ana Ainun Musyarofah









