Sudah pernah ada kerajaan yang tidak menggunakan identitas agama, yaitu sebuah kerjaan di Nusantara yang bernama Majapahit. Di Kerajaan ini berlaku semboyan Bhinneka Tunggal Ika – semboyan yang kelak diteruskan pemakaiannya oleh Republik Indonesia.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika membuktikan bahwa Majapahit menolak menjadikan agama sebagai identitas politik kerajaan. Tentu ada suasana Hindu dan Buddha, dua agama resmi kerajaan. Dan karena identitas agama tidak menjadi keputusan politik kerjaan, maka tidak ada kewajiban bagi penduduk Majapahit untuk mengikuti agama negara. Mereka berhak menganut agama yang mereka Yakini.
Hak atas kebebasan beragama ini tidak mungkin kita temukan di negara-negara yang menggunakan agama sebagai identitas politik. Di negara dengan agama sebagai identitas, barangsiapa tidak mau mengikuti agama negara, ia akan diusir, dibunuh, atau dijadikan negara kelas dua. Orang Protestan, misalnya, tidak bisa menjadi warga negara yang setara di negara Prusia, sebab negara itu adalah negara Katolik. Orang Katolik tidak bisa menjadi warga negara yang memiliki kesetaraan hak di negara Belanda, karena negara itu beridentitas Protestan.
Masalah yang ditimbulkan oleh diberlakukannya agama sebagai identitas negara ini bisa berlarut-larut. Inggris, yang beridentitas Kristen Anglikan, harus mengadapi konflik berkepanjangan dengan rakyat Irlandia Utara yang mempertahankan identitas Katolik mereka dan ingin memerdekakan diri.
Di Turki Usmani pun situasinya begitu. Orang-orang non-Muslim tidak mungkin menjadi warga negara kelas satu di wilayah mana pun dalam kekhalifahan itu. Mereka yang bukan Islam harus masuk Islam jika ingin mendapatkan kesetaraan hak sebagai warga negara. Alternatifnya, mereka harus meminta dzimmah kepada imam, dalam hal ini adalah Khalifah Turki Usmani, jika mereka terus bertahan menganut agama mereka. Jika imam mengabulkan permintaan mereka, status mereka menjadi kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang dilindungi sejauh mereka mematuhi kewajiban yang ditetapkan atas mereka, antara lain membayar pajak lebih. Tetapi mereka tetap saja menjadi warga negara kelas dua.
Dalam hal terjadi peperangan dengan kelompok atau negara kafir (kafir harbi), Nasib pihak yang kalah sepenuhnya tergantung kepada imam. Imam boleh memperlakukan mereka sesuai dengan keputusannya sendiri: imam boleh membunuh mereka begitu saja, atau menawan mereka untuk mendapatkan tebusan dari pihak mana pun yang mau menembus atau berminat menjadikan mereka budak.
Hukum seperti ini berlaku di mana-mana, tidak hanya di Turki Usmani yang beridentitas Islam, tetapi juga di Prusia yang Katolik. Ia berlaku juga di Belanda atas nama agama Protestan, berlaku di Inggris atas nama agama Anglikan, berlaku di India atas nama agama Hindu. Di negara Hindu, orang yang tidak beragama Hindu secara otomatis akan menjadi warga negara di luar kasta – mereka akan menempati kedudukan terendah sebagai kaum paria.
Pemandangan seperti ini tidak pernah ada di Majapahit. Kita bisa mengatakan bahwa kerajaan ini ada kebebasan beragama. Raja Hayam Wuruk beragama Hindu, patih Gajah Mada beragama Buddha. Pada perkembangan selanjutnya, ketika Islam mulai masuk ke negara tersebut, raja membiarkan saja anak-anaknya dinikahi oleh orang-orang Islam.
Sampai tiba masa keruntuhannya di awal abad keenam belas, Majapahit mempunyai kesempatan dua ratus tahun lebih untuk mengamalkan gagasan Bhinneka Tunggal Ika dan memantapkannya sebagai budaya, sebagai peradaban Masyarakat di Nusantara. Hal ini setidaknya bisa menjelaskan kenapa wilayah Nusantara orang sulit diajak mengkafir-kafirkan orang lain. Bagaimanapun, kita mewarisi budaya dan peradaban Majapahit di dalam gen kemasyarakatan kita
Sumber: PBNU (Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama)
Penulis: Yahya Cholil Staquf