Negara bangsa adalah sebuah system organisasi, di mana orang-orang dengan identitas yang sama hidup di dalam Negara dengan perbatasan yang jelas, tidak dikenal perbedaan kelas berdasarkan golongan, ras dan agama.
Dalam pandangan Islam, pembahasan mengenai konsep negara bangsa masuk dalam katagori fikih siyasah sedangkan bidang siyasah masuk bagian kajian fikih Mu’amalah. Dan dalam hal muamalat ini berlaku kaidah-ashlu fil mu’amalah al-ibahah. Dengan demikian selama tidak dalil yang melarang maka dianggap sah. Karena al-‘ilmu bi’adamid dalil-dalil.
Keyakinan (al-‘ilm) ketiadaan dalil saja sudah cukup sebagai dalil kebolehan untuk mendirikan negara bangsa. Faktanya, Nabi SAW pernah mendirikan negara Madinah yang selaras dengan prinsip negara bangsa dalam masyarakat modern.
“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah Piagam dari Muhammad. Nabi saw di antara kaum Mukminin dan Muslimin dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka kemudian menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.
Sesungguhnya mereka semua adalah satu umat, lain dari komunitas manusia lainnya…. Kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum Mukminin selama dalam peperangan. Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum Mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Hal ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Karena hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
Di sisi lain negara adalah wasilah, maka dalam persoalan mu’amalah-siyasah, syari’at Islam mempersilahkan kepada umat IsIam untuk menentukan satu bentuk negara. Dengan perkataan lain, IsIam tidak meletakkan satu pola baku tentang sistem pemerintahan. Sejauh negara membawa kemaslahatan maka ia telah selaras dengan spirit keislaman.
“Siyasah adalah kebijakan yang nyata-nyata menjadikan manusia lebih dekat kepada kebaikan dan menjauhi kerusakan meskipun tidak dibuat oleh Rasulullah saw dan disinggung oleh wahyu”.
Sumber: Keputusan BAHTSUL MASA’IL MUNAS NU 2019